Sadar untuk bersandar




Wahai Illah segala makhluk
Hanya kepada-Mu kusandarkan harapanku
Meskipun aku seorang pendusta

Wahai Yang Maha Memberi dan Maha Pemurah
Ketika hatiku mengeras dan jalannya menyempit
Kujadikan harapanku pada ampunan-Mu
Sebagai tangga pijakan

Dosa-dosaku tampak begitu besar
Tetapi ketika aku membandingkan dengan ampunan-Mu
Ya Rabbi, ternyata ampunan-Mu lebih besar
Engkau selalu dan akan terus mengampuni dosa

Engkau bermurah hati
Sedangkan iblis telah menyesatkan kekasihmu, Adam
Jika engkau ampunkan daku
Berarti engkau ampunkan seorang pendurhaka
Seorang yang zhalim, aniaya dan tiada meninggalkan perbuatan dosa

Tapi jika Engkau murkai aku
Aku tidak berputus asa
Sekalipun Engkau masukan diriku ke Jahanam
Karena dosa-dosaku memang besar
Sejak dulu hingga sekarang
Namun ampunan-Mu
Wahai Yang maha Pengampun
Jauh lebih tinggi dan lebih besar

*Syair Imam Syafi’i beberapa saat sebelum Ia meninggal

catatan seorang stand guide bazzar buku murah (telat posting!)



10 hari terakhir yang sangat melelahkan! Bekerja paruh waktu sebagai stand guide di acara bazzar buku murah yang diadakan oleh salah satu perusahaan penerbit ternama dari kota kembang, profesi yang bagi saya sangat melelahkan secara fisik, mental dan finansial, menguras keringat, memeras otak sekaligus menguras isi dompet sampai pada level paling fatal! karena setelah dipikir-pikir saya lebih banyak melayani diri saya sendiri daripada orang lain, memaksakan kehendak membeli buku-buku dan menjadi salah satu konsumen yang konsumtif selama bazzar berlangsung. Meskipun dalam hati saya selalu mengecam mahalnya harga buku yang ingin saya beli tapi dengan senang hati saya selalu bisa memaksakan diri dan menyisihkan uang untuk membeli buku tersebut, tentunya demi memanjakan otak dan memperbanyak wawasan.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama 10 hari itu banyak hal baru yang saya temui dan saya jadikan pelajaran, diantaranya adalah tentang bagaimana melayani konsumen yang berbeda-beda watak, tentang loyalitas yang harus selalu dijungjung tinggi dalam sebuah pekerjaan dan terakhir Tentang Bagaimana Suatu Perusaahan Menggeruk Keuntungan Sebesar-Besarnya Dengan Modal Yang Sekecil-Kecilnya tanpa mengedapankan cara-cara yang –bisa dikatakan– kurang adil dalam hal kerjasama dengan pihak Masjid Agung!

Kegiatan ini berawal dari tawaran kerjasama ‘saling menguntungkan’ antara penerbit MIZAN Bandung dengan perpustakaan masjid Agung Garut, keduanya sepakat untuk saling membantu dan mendukung demi kelancaran acara Bazzar buku murah yang langsung ditangani oleh pihak MIZAN dan acara Seminar kepenulisan serta lomba mewarnai dan menggambar yang ditangani oleh pihak perpustakaan, singkat kata, dari beberapa kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya saya pikir memang cukup adil, tapi ternyata, setelah saya mengetahui total penjualan dari kegiatan bazzar sebesar 40 juta lebih dengan rata-rata 4 juta per hari saya mulai merasa sedikit kecewa, baik dengan pihak MIZAN maupun dengan pihak Masjid Agung, disatu sisi Masjid Agung sedang membutuhkan banyak dana untuk memperbaiki berbagai fasilitas yang kurang memadai tapi disisi lain belum bisa memaksimalkan pemasukan dari setiap kerjasama dengan pihak yang ingin memakai fasilitas Masjid.

Bandingkan sendiri, untuk akad nikah saja yang dilaksanakan didalam area Masjid rata-rata memberi infaq sekitar 300 ribu (tentunya 1 hari), sedangkan untuk kegiatan yang bersifat bisnis/komersil, pihak MIZAN hanya memberi 500 ribu untuk 10 hari! jadi jelas, Pihak DKM Masjid dalam hal ini saya pikir kurang jeli dalam menentukan keputusannya, sehingga yang terjadi adalah membiarkan orang lain menggeruk uang dari fasilitas masjid yang sedang merintih kesakitan, meskipun tidak hanya infaq yang diterima pihak Masjid Agung tapi tetap saja saya rasa harus ada keberanian sikap dalam bertindak, karena kegiatan bazzar buku bukan acara amal. Sedangkan pihak MIZAN sendiri harusnya bisa lebih terbuka dalam hal kerjasama seperti memberitahukan target penjualan kepada pihak DKM Masjid Agung sebelum kegiatan dimulai, dan berusaha untuk membuat kontraprestasi (kesepakatan) yang saling menguntungkan diantara keduabelah pihak*.

*tulisan ini bukan merupakan ketidaksenangan saya dengan orang yang mewakili pihak MIZAN, untuk kang Iman dan kang Yosef semoga tali silaturahmi kita bisa terus berlanjut.

Mengkonsumsi sampai mati



Hasrat tidak akan pernah terpenuhi, keinginan terus bertambah,
Pola konsumsi kita tak lagi didasari oleh logika kebutuhan, melainkan oleh logika hasrat,
Belanja gaya hidup, membayar simbol, memborong prestise demi sebuah status,
Terombang ambing dalam imaji-imaji halusinatif dimana hasrat seolah-olah dapat direngkuh hanya dengan membeli, Meyakinkan kita bahwa dengan membeli produk sama dengan membeli kesuksesan,
Sukses menjadi idola setiap wanita dengan mempunyai tubuh berotot hanya dengan membeli susu merk ‘X’, mempunyai kendaraan sporty mentereng, atau wanita akan semakin disayang pacarnya jika membeli pemutih kulit merk ‘Y’.

Kita tak pernah sadar,jika setiap detik isi kepala kita diracuni oleh propaganda yang disebarluaskan melalui kebudayaan, media & iklan, dengan menggunakan 1001 macam metode persuasif agar terciptanya ‘kegunaan-kegunaan’ semu bagi produk-produk busuk mereka hingga ke titik paling vulgar dengan mengekploitasi hasrat seksual wanita, yang kemudian memaksa mereka membenci tubuhnya hanya karna kurang terlihat putih dan seksi atau pakaian yang dikenakan sudah tidak ‘up to date’ lagi meski masih sangat layak pakai.

Seringkali kita terjebak keglamouran dunia periklanan, terkurung dalam sebuah sistem opresif yang dikuasai oleh kaum elit kelas dominan yang memecah belah kita, membeda-bedakan kita lewat kategori-kategori seperti gender, ras, agama atau kepercayaan, dan kita lagi-lagi dipaksa untuk tidak lagi memiliki kebebasan sebagai individu, kamu tidak punya apa-apa kecuali kamu melakukan hal-hal yang ‘seharusnya’ kamu lakukan. Kamu sendirian, tidak akan ada yang menemanimu, kamu BUTUH seseorang, kamu BUTUH sesuatu. Tidak ada yang tersedia di dalam kebudayaan yang konsumtif ini kecuali kamu MEMBELINYA.

Salah satu kunci untuk bertahan dari serbuan hasrat yang bertebaran diluar sana adalah dengan kontrol akan hasrat dan kesadaran penuh mengenai hasrat kita masing-masing,
pengetahuan mendalam akan hasrat-hasrat yang muncul dalam diri kita sebetulnya bisa dirunut asal muasalnya ketika kita semakin mengenali diri kita sendiri. Dalam proses itu, kita akan semakin mengenali apa yang sebenar-benarnya kita inginkan, tanpa pengaruh dari pihak manapun selain diri kita sendiri.
Disanalah kemudian esensi dari kehidupan manusia mulai menunjukan tanda-tanda kehidupan yang riil.
[nas]

INDUSTRI MUSIK KAPITALIS!



Begitu banyak band-band baru yang sukses di jalur ‘mainstream’ saat ini, semakin banyak pula jenis sound dan musik yang seragam, kesuksesan yang mereka raih tak lebih dari hasil usaha menyamai artis yang lainnya, bahkan salah satu band ada yang hampir meniru persis lagu-lagu dari band luar, dan kondisi tersebut menjadi sangat besar dan luas ketika seorang penyanyi dari salah satu label terdengar sangat identik dengan penyanyi dari label yang lain, dua label yang berbeda namun produknya sama persis, sebuah mentalitas yang seharga makanan emperan.

Seni memang sangat sulit untuk diciptakan, dan hasilnya para artis rajin mengadaptasi dari artis-artis lainnya, para penjual dalam industri musik ini pun saling mengkopi atau mengambil strategi pemasaran dari penjual lainnya. Si artis dan si penjual ini kemudian membentuk suatu pertalian dan kesenangan sendiri yang MENGHANCURKAN keinginan mereka untuk membuat sesuatu yang baru. Hasilnya adalah minimnya keragaman dalam jenis musik yang pada akhirnya membuat para pecinta musik tidak mempunyai banyak pilihan, menyukai band itu dan menjadi pembeli salah satu musik yang diberikan kepadanya atau berhenti untuk mendengarkannya, sebagian besar akan memilih pilihan yang pertama.
Kondisi seperti ini akan terjadi secara terus menerus dalam industri musik, meminjam analogi dari ilmu biologi tentang SELEKSI ALAM, yang artinya bahwa setiap mahluk hidup harus dapat beradaptasi atau mereka akan punah. industri musik berkembang sama seperti mahluk hidup berkembang, aplikasi seleksi alam dalam bisnis musik, suatu band juga harus menjual rekamannya (sebagai suatu bentuk dari adaptasi tersebut) atau mereka akan tersingkir (sebagai suatu bentuk kepunahan).

Munculnya para artis/seniman di masa depan sangat ditentukan oleh artis yang yang eksis pada saat ini. Inspirasi berjalan secara turun temurun, maka pertanyaan yang timbul dalam industri musik sama dengan pertanyaan besar dalam Biologi modern : “Bagaimana kita memelihara dan mempertahankan keragaman?” apabila kita melanjutkan menghilangkan habitat alam dan meratakannya dengan dataran kota atau lahan pertanian, kita akan menyebabkan kepunahan dari banyak mahluk hidup karena mereka tidak dapat beradaptasi terhadap kerusakan yang terjadi secara cepat. Hasilnya : sangat sedikit jenis dari orgasme dari evolusi pada masa datang. Hal yang sama berlaku pada musik. Apabila perusahaan rekaman (label) hanya mengkopi dari tiap daftar artis-artis tadi dan mengabaikan band dan artis yang unik secara kualitas, maka akan terjadi suatu tindakan yang membatasi jenis artistik yang tersedia dalam dekade pada masa yang akan datang. Dan sialnya, Industri musik kapitalis/mainstream selalu mengukur kualitas dengan cara yang salah, yaitu dengan faktor profit dan bukan berdasarkan dorongan emosi dan intelektual. Industri musik yang MENENTUKAN apa yang akan PUBLIK dengarkan melalui “penyeleksian yang tidak natural” tanpa adanya suatu penetapan kualitas standar dan (sekali lagi) mereka hanya mementingkan berapa banyak uang yang akan dihasilkan dari seorang artis.

Band yang kurang populer pun berhak untuk ditopang dan didorong. Nilai mereka seharusnya diukur dengan memproyeksikan pengaruh mereka kedepan, ke dalam masa depan, dan bukan dengan mengkalkulasikan pendapatan tahun kemarin dan berapa banyak kerugian dalam rekening. Kita membutuhkan sosok eksekutif label yang mau mengangkat kepalanya dan mengatakan “ini musik yang bagus, ini kualitasnya buruk. Ini punya integritas dan yang ini terang-terangan rip-off!” para artis dan seniman butuh untuk diberitahu saat dimana musik mereka sama seperti orang lain. Itu sangat membentuk mereka untuk menyadari apa yang unik dari mereka sendiri. Hal tersebut membantu mereka untuk berkembang. Dan mereka harus terus diberikan pendidikan. Mengapa? Karena mereka tidak membutuhkan tekanan dari label mereka untuk memberikan/menghasilkan uang secara terus-menerus kepada label mereka, sementara mereka berusaha keras bermain dan berharap untuk mendapatkan suatu kesuksesan. Ini bukanlah suatu perkembangan yang nyata, Setahap demi setahap industri musik kapitalis menimbulkan kelemahan dalam masyarakat kita. Kebenaran yang tidak dapat disangkal ini, adalah sama seperti dalam politik : Apabila industri musik menawarkan kepada publik ngga lain hanya bersifat biasa-biasa saja, maka itu akan membentuk dan menciptakan orang-orang yang Medioker (a.k.a orang yang berpikir setengah-setengah).

Lalu Bagaimana dengan kalian? apa selera musik kamu memang sudah berdasarkan keinginan kamu sendiri?? atau kamu tidak punya banyak pilihan dalam menikmati musik?? Jika ya, Cobalah sedikit luangkan waktu untuk mencari informasi band-band diluar mainstream, mereka yang eksis di jalur indie banyak yang mempunyai kualitas yang bahkan lebih bagus dari band-band top40 saat ini, jika saya review satu-satu mungkin terlalu banyak, namun yang pasti keberadaan mereka tidak akan pernah muncul di televisi dan radio-radio, jadi mulai saat ini matikanlah televisi dan radio kamu!!mulailah mencari musik yang baik sebelum isi kepala kamu semakin disesaki musik-musik miskin inovasi!! (nas)

*Sebagian disadur dari tulisan Greg Graffin yang berjudul “Fast Food and Music Industry”.